zmedia

Dosen UGM: RUU Masyarakat Adat yang Telah 15 Tahun Tertunda Butuh Pembaruan

BeritaQ.com , Jakarta - Dosen Fakultas Hukum Universitas Gajah Mada ( UGM Yance Arizona mengkritik Rencana UU atau RUU Masyarakat Adat Yang telah berusia 15 tahun tanpa disahkan oleh DPR seharusnya direvisi. Revisi harus mencakup aspek substansial yang menyesuaikan dengan keadaan saat ini serta sisi teknisnya.

"Oleh karena itu, kita dapat menciptakan peraturan yang sesuai dan lebih unggul bagi masyarakat hukum adat," ujar Yance di depan peserta Rapat Kerja Nasional ke-VIII Aliansi Masyarakat Hukum Adat Nusantara (AMAN). AMAN ) di Kedang Ipil, Kalimantan Timur, Senin, 14 April 2025.

Selain itu, kata Yance, hal yang perlu menjadi perhatian berikutnya adalah mengarahkan gerakan agar ada keselarasan di antara undang-undang sektoral yang selama ini sudah mencantumkan pengakuan keberadaan masyarakat adat. Menurutnya, arahan itu penting karena saat ini di Indonesia memang belum ada model pengaturan yang komprehensif dalam pengakuan hukum terhadap keberadaan masyarakat adat.

"Setiap kebijakan malah berlangsung tanpa kelancaran antara satu dengan yang lainnya dan tampak seolah-olah sedang beroperasi secara mandiri," ungkap ahli hukum konstitusi dari departemen Hukum Tata Negara UGM itu.

Oleh karena itu, Yance menegaskan pentingnya bagi AMAN dan aktivis masyarakat adat untuk memperluas diskusi tentang Rancangan Undang-Undang Masyarakat Adat dengan pendekatan holistis. Dia menjelaskan, "Maka kami perlu menyusun RUU Masyarakat Adat, yang tak hanya berfokus pada aspek-aspek masyarakat adat saja. Sebab hal tersebut dapat justru merugikan masyarakat adat."

Pada pertemuan kerja yang dilaksanakan di area komunitas adat Kutai Lawas Sumping Layang tersebut, Sekretaris Jenderal AMAN Rukka Sombolinggi menyatakan kebutuhan mendesak akan penyetujuan Undang-Undang tentang Masyarakat Hutan bagi pemberian perlindungan hukum yang lebih kuat atas peraturan lokal yang menghargai serta membela masyarakat setempat. “Rancangan Undang-Undang tentang Masyarakat Hutan masih belum ditetapkan. Padahal kondisi semakin memperparah,” ujar Rukka.

Dia menyatakan bahwa lebih dari 350 peraturan daerah maupun surat keputusan terkait dengan pelindungan dan pengakuan atas masyarakat adat di Indonesia masih belum menghasilkan dampak positif bagi mereka. Dia menjelaskan ratusan regulasi lokal tersebut tidak efektif serta bertentangan dengan undang-undang yang ada.

Rukka menjelaskan bahwa putusan Mahkamah Konstitusi (MK) No. 35/PUU-X/2012 menyatakan dengan tegas bahwa kelompok masyarakat adat berhak atas tanah warisan dan hutan mereka. Turunan dari putusan tersebut meminta tiap daerah harus membuat peraturan lokal untuk mengenali serta melindungi eksistensi penduduk asli di sana, sampai Undang-Undang tentang Masyarakat Adat akhirnya disahkan dalam waktu kurang lebih 15 tahun belakangan ini namun belum berhasil menjadi bagian dari sistem hukum nasional kita.

Dalam masa kepemimpinan Presiden Joko Widodo, seperti yang dilanjutkan oleh Rukka, data menggambarkan bahwa walaupun ada beberapa daerah yang sudah mendapatkan pengakuan hukum dan proteksi bagi masyarakat adat, tetapi secara keseluruhan mencatatkan penurunan seluas 11,7 juta hektar dari lahan adat. Tidak hanya itu, masih juga ditemukan fenomena peradilan berlebihan atau kriminalisasi kepada kelompok tersebut. Menurut catatan AMAN pada tahun 2024 sendiri, minimal telah tercatat 121 insiden kriminalisasi terkait hal ini.

Lebih parah dari itu, hingga Maret tahun ini, sebanyak 113 kasus pengkriminalan telah terjadi di tahun 2025. Sehingga kondisi semakin memprihatinkan, demikian ujar Rukka.

Post a Comment for "Dosen UGM: RUU Masyarakat Adat yang Telah 15 Tahun Tertunda Butuh Pembaruan"