zmedia

Sejarah Transformasi Kadipaten Surabaya: dari Kekuasaan ke Kota Metropolitan

BeritaQ.com - Surabaya, salah satu kota terbesar di Indonesia, menawarkan riwayat yang cukup lama dan dipenuhi dengan perubahan. Sebelum bergabung dengan Hindia Belanda, Surabaya merupakan kerajaan penting di daerah Jawa Timur.

Surabaya berperan signifikan sebagai titik fokus dagang global serta kebudayaan, yang turut mendorong pertumbuhan sektor sosial, politik, dan ekonomi di kawasannya.

Melewati beragam pergantian dan hambatan selama masa sejarahnya, Surabaya sudah tumbuh jadi sentra metropolitan dengan ciri khas tersendiri, menyandangkan cerita mengenai pemimpinannya, budayanya, serta perlawanan rakyatnya.

Menurut sumber YouTube milik Bimo K.A, tulisan ini bakal mengekspos latar belakang Sejarah Surabaya, mulai dari era Kadipaten Surabaya sampai periode kekuasaan Belanda, serta cara evolusi berkesinambungan tersebut menciptakan kota seperti yang kita ketahui saat ini.

1. Asal Usul Kerajaan Surabaya

Sebelum dikendalikan oleh VOC pada abad ke-18, area Surabaya sempat menjadi bagian dari Kerajaan Singasari, Majapahit, serta Kesultanan Demak. Meskipun tanggal kelahiran formal kota Surabaya diperingati pada 31 Mei 1293, catatan sejarah menunjukkan bahwa peradaban di sana sudah berlangsung cukup lama sebelum periode tersebut.

Setelah memisahkan diri dari Demak, Kadipaten Surabaya mengalami pertumbuhan yang cepat dan pernah menjadi kekuatan dominan di wilayah Jawa Timur.

2. Surabaya Sebagai Kota Utama dalam Bidang Kebudayaan dan Agama Islam

Di separuh kedua abad ke-16, Surabaya berubah menjadi sentra penting bagi budaya dan kesusastraan Jawa-Islam. Istana Kadipaten sering dijadikan titik temu oleh para penulis terkemuka serta ulama. Keunikan ini menjauhkan perannya dibanding dengan kota-kota pemerintahan lain semisal Pajang atau Mataram.

Hubungan dekat antara Surabaya dan tokoh-tokoh pendiri agama seperti Sunan Ampel menjadikan kota ini pusat utama dalam proses penyebaran ajaran Islam ke wilayah Jawa.

3. Perebutan Kekuasaan melawan Kesultanan Mataram

Di awal abad ke-17, Kerajaan Surabaya pernah menambah cakupan pengaruhnya sampai mendominasi mayoritas area di Jawa Timur.

Akan tetapi, pada tahun 1625, kadipaten tersebut berpindah ke penguasaan Mataram di bawah kepemimpinan Sultan Agung. Dari titik itu, Surabaya mulai merosot dalam urutan politiknya, walaupun masih bertahan sebagai salah satu sentra perdagangan utama.

4. Pemerintahan Berbilang: Kasepuhan dan Kanoman

Satu hal menarik dari sejarah Kabupaten Surabaya di era kolonial adalah adanya dua bupati yang menjalankan pemerintahan secara berdampingan.

Ke dua kepala daerah ini berasal dari keluarga Kasepuhan dan Kanoman, keduanya adalah cucu dari Tumenggung Onggodjoyo, seorang bupati terkenal dalam sejarah.

Bagiannya kekuasaan ini dimulai pada tahun 1752 dan berlanjut sampai pertengahan abad ke-19.

5. Keunikan di Kabupaten serta Kehidupan Istana

Catatan oleh misionaris Belanda, Francois Valentijn, menggambarkan keagungan istana Bupati Surabaya yang besar dengan dekorasi indah di dalamnya.

Istana ini dilengkapi dengan sebuah pendopo yang luas di mana terdapat alat musik gamelan serta area terbuka khusus untuk menyelenggarakan acara-acara kenegaraan. Menariknya, gajah dipakai sebagai moda transportasi formal bagi sang bupati ketika hadir dalam upacara-upacara penting tersebut.

6. Penggabungan dengan Kekuasaan Kolonial

Setelah terjadinya Peristiwa Kampung Chinese pada tahun 1743, Sunan Pakubuwono II mengalihkan kekuasaan atas Surabaya kepada VOC. Dari titik tersebut, kota Surabaya kemudian diatur secara langsung oleh pemerintahan kolonial Hindia Belanda.

Strukturnya memang berbeda, tapi posisi bupati masih dilestarikan sebagai representasi tradisional setempat. Di Surabaya, bupati ada di bawah kendali asisten residen serta residen kolonial.

7. Pencopotan Dua Kepala Daerah

Di tahun 1863, usai berlangsung perbedaan pendapat di antara keluarga Kasepuhan dengan Kanoman, pihak pemerintahan kolonial kemudian menunjuk seorang bupati tunggal dari garis keturunan Kasepuhan, yaitu Raden Adipati Ario Cokronegoro IV.

Sejak saat itu, kepemimpinan Kabupaten Surabaya beralih ke Kebon Rojo dan tak lagi dibagi menjadi dua bagian.

8. Pencapaian Status Sebagai Kota Madya

Di tahun 1906, ketika era kekuasaan Raden Tumenggung Ario Cokronegoro V, otoritas kolonial meningkatkan derajat pusat kabupaten Surabaya menjadi sebuah kotamadya (gemeente), dan di bawah kepemimpinan seorang Walikota dari Belanda.

Di sisi lain, posisi bupati akan terus dijaga untuk area kabupaten yang lebih besar, meliputi Jobokuto, Gunung Kendeng, serta Bawean.

Penutup

Riwayat kekuasaan Kadipaten Surabaya tak sekadar dicatatkan melalui garis keturunan penguasanya, namun juga tercermin pada nama-nama jalanan serta wilayah-wilayah di kota tersebut, misalnya Kampung Kraton, Kebon Rojo, dan Bubutan.

Surabaya tidak sekadar menyaksikan berbagai kejadian signifikan dalam catatan sejarah Jawa, melainkan juga menunjukkan bagaimana sebuah kota berkembang dari jejak budaya dan politik historisnya menuju menjadi pusat metropolis kontemporer.

Post a Comment for "Sejarah Transformasi Kadipaten Surabaya: dari Kekuasaan ke Kota Metropolitan"