Oleh: Ernestus Holivil
Dosen di Prodi Administrasi Publik FISIP Undana Kupang
BeritaQ.com Energi terbarukan telah menjadi slogan utama di era di mana perubahan iklim semakin mengancam. Hampir setiap negara berupaya untuk meninggalkan energi fosil seperti batu bara dan minyak, menuju ke arah sumber daya yang lebih hijau.
Indonesia, berkat sumber daya panas bumi yang besar, memiliki peran krusial dalam proses transisi ini.
Akan tetapi, belakangan ini pengembangan sumber daya energi, terutama di NTT, selalu menghadapi penentangan.
Terbalikkanlah perkembangan proyek geothermal yang semakin maju, dan Anda akan menemukan tensi yang sering kali terabaikan oleh khalayak umum.
Tension arises from the encounter between industrial ambition and cultural values that have long preserved nature in their own way.
Kebijakan aneh muncul di titik ini. Sebuah sisinya, pemerintah mendukung penggunaan tenaga panas bumi sebagai upaya menurunkan ketergantungan terhadap energi fosil.
Akan tetapi di sisi lain, ketika diterapkan, proyek tersebut malah menghasilkan dampak lingkungan, sosial, serta budaya yang besar.
Geotermal membawa kontradiksi: mengekalkan planet ini secara keseluruhan, namun di sisi lain dapat mengancam kelangsungan hidup masyarakat setempat.
Geotermal dan Ancaman bagi Lingkungan_hidup
Pada bulan Juni tahun 2017, pihak berwenang di Indonesia yang mewakili Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral mengumumkan bahwa Flores, sebuah wilayah dalam Provinsi Nusa Tenggara Timur, ditunjuk sebagai Pulau Panas Bumi atau disebut juga dengan Flores Geothermal Island.
Tentu saja hal ini tidak tanpa dasar. Alasannya, Flores dipandang memiliki potensi untuk dijadikan sumber daya dalam pengembangan listrik serta membantu percepatan beralih ke energi yang dapat diperbaharui.
Namun sadar atau tidak, hingga kini dampak dari proyek ini tidak selalu sejalan dengan harapan masyarakat lokal.
Di Poco Leok, Manggarai misalnya, proyek ini menyimpan jejak konflik, pengabaian, dan ketidakadilan.
Penolakan itu bukan tanpa alasan. Yang dirasakan masyarakat, proyek Geothermal ini berdampak buruk terhadap lingkungan dan ruang hidup masyarakat adat.
Selama ini, Geothermal selalu dinaraikan proyek ramah lingkungan. Tetapi saya kira, label “ramah lingkungan” tidak otomatis berarti “ramah manusia.”
Bila proyek panas bumi dilaksanakan tanpa mempedulikan penduduk setempat, melupakan warisan budaya mereka, serta merampas wilayah tinggal mereka, maka sumber daya tersebut tidak lagi bersifat netral—itu sudah berpihak kepada keuntungan sekelompok orang saja.
Apabila energi tersebut berasal dari proses penyelewengan hak-hak asasi manusia, maka berapa pun tingkat emisi yang rendahnya, tetap saja akan ada pencemaran sosial.
Proyek panas bumi Mataloko di Kabupaten Ngada merupakan bukti konkret tentang dampak negatif yang ditimbulkan oleh proyek-proyek geotermal terhadap penduduk lokal.
Sejak dimulainya operasional proyek tersebut tahun 1998, warga yang tinggal di dekat area proyek telah merugi secara signifikan.
Lingkungan terganggu, kondisi kesehatan menurun, serta produksi pertanian berkurang termasuk biji kopi, cokelat, vanilla, dan sayuran yang hancur karena adanya zat hidrogen sulfida (H2S).
Masyarakat asli di Wae Sano, Kecamatan Sano Nggoang, Manggarai Barat mengalami hal yang sama.
Proyek panas bumi yang dijalankan oleh PT Sarana Multi Infrastruktur (SMI), didukung oleh Bank Dunia serta Selandia Baru sampai saat ini belum memberikan dampak positif. Sebaliknya, hal tersebut malah menghancurkan ekosistem hutan dan lingkungan tempat tinggal penduduk setempat.
Sebenarnya, masyarakat setempat yakin bahwa semua struktur sosial, ekonomi, dan keagamaan mereka berhubungan erat dengan lingkungan di sekitar mereka, termasuk hutan, sumber air, serta area persawahan.
Menurut pendapat saya, tantangan utamanya bukan terletak pada penggunaan tenaga panas bumi sebagai sumber daya. Yang menjadi permasalahan adalah saat pembangunan proyek-proyek tersebut dilakukan tanpa mempedompetkan aspirasi warga setempat, seperti meremehkan pengetahuan mereka akan lahan yang sudah dijaga turun temurun selama bertahun-tahun.
Mungkin hal ini disebabkan oleh pendekatan pembangunan yang umumnya bersifat sentralistis dan teknonkratik.
Alam tidak dianggap sebagai ruang kehidupan yang memiliki hubungan sosial dan spiritual dengan manusia, tetapi justru menjadi obyek untuk dieksploitasi.
Sebagai akibatnya, saat tanah tersebut digali untuk tujuan energi nasional, masyarakat tidak hanya kehilangan lahan tetapi juga hilang identitas dan perasaan amannya.
Konstruksi semacam itu merusak area yang memiliki makna simbolis. Konsep Ekological Justice oleh David Schlosberg dapat memperjelas pemahaman terkait masalah tersebut.
Schlosbertg menekankan bahwa keadilan lingkungan tidak hanya soal distribusi manfaat, tetapi juga soal pengakuan terhadap identitas dan pengetahuan komunitas.
Menurut dia, keadilan lingkungan perlu mencakup penghargaan atas gaya hidup, ilmu pengetahuan, serta identitas budaya grup-grup yang tertindas, terlebih lagi bagi komunitas asli.
Schlosbertg tepat. Namun sayangnya, jenis pengakuan seperti itu belum cukup umum dalam berbagai kebijakan energi kita. Masyarakat setempat kerap kali dianggap sebagai hambatan untuk kemajuan.
Seharusnya, mereka merupakan pemelihara ekosistem yang mengerti betul kapan air mulai surut atau tanah mulai pecah.
Permasalahan menjadi lebih rumit karena distribusi kekuatan dalam projek tersebut sangat timpang.
Pemerintah berkolaborasi dengan perusahaan multinasional besar guna mendalami pengembangan energi terbarukan dari suatu sudut pandang, sedangkan kedudukan warga setempat hanya dimiringkan sebagai penonton dalam lingkungan tempat tinggal mereka sendiri.
Pemberitahuan tentang kehadiran di acara sosialiasi serta janji kompensasi hanyalah legalisasi prosedural, bukannya tempat yang memungkinkan partisipasi demokratis.
Ini dikenal sebagai partisipasi palsu—kelihatannya inklusif, namun sebenarnya masih bersifat eksklusif.
Masyarakat setempat sama sekali tidak terlibat dalam tahap perencanaan awal. Justru, mayoritas keputusan mengenai proyek geotermal sudah dibuat jauh sebelum melibatkan masyarakat.
Keadaan tersebut menunjukkan penolakan atas prinsip free, prior, and informed consent (FPIC) yang telah dikenal secara global sebagai pedoman untuk melindungi hak-hak masyarakat adat.
Kontradiksi ini sering timbul pada berbagai proyek panas bumi di Indonesia: secara teori, hal itu menawarkan kesinambungan, namun di tempat nyata, justru menciptakan ketidaktegasan.
Pisahan antara pemerintah dan masyarakat, antara teknologi dan tradisi, antara kesuksesan angka-angka dengan ketidaksesuaian sosial.
Saat fokus hanya tertuju pada aspek efisiensi teknis, maka elemen-elemen sosial cenderung disepelekan—padahal di sinilah terletak fondasi stabilnya masa depan.
Partisipasi Masyarakat Lokal
Baik suka maupun tidak, pembangunan energi bersih perlu dilakukan melalui proses yang adil, jujur, serta didasari oleh penghargaan atas nilai-nilai setempat.
Tidak hanya karena alasan moral, namun prosedur tersebut adalah satu-satunya jalan bagi proyek energi untuk mendapatkan pengakuan dan berkelanjutan dalam waktu yang lama.
Komunitas tidak hanya sebagai pengguna, melainkan pemelihara nilai dan arti di balik area yang akan dikembangkan.
Tidak sepenuhnya mengerti lingkungan hidup dari sudut pandang hukum resmi yang dibuat pemerintah.
Pembacanya juga perlu mempertimbangkan sudut pandang budaya, rohani, dan lingkungan. Setiap proyek energi seharusnya muncul dengan sikap penghormatan, tidak boleh penuh kesombongan. Lingkungan hidup harus dipandang sebagai makhluk hidup yang patut kita jaga bersama-sama.
Kemudian penting bagi pemerintah untuk menerapkan mekanisme persetujuan adat yang memiliki kekuatan hukum (customary consent binding) sebelum memulai proyek tersebut.
Proses ini perlu dijadikan sebagai kriteria utama dalam tahap pengambilan keputusan.
Masyarakat adat memiliki hak untuk menyatakan “ya” atau “tidak” terhadap proyek yang menyentuh ruang hidup mereka.
Prinsip partisipatif ini menetapkan keberlanjutan sosial-budaya dari proyek tersebut. Dengan demikian, masyarakat setempat memiliki kendali terhadap perkembangan daerah mereka di masa mendatang.
Ini sangat diperlukan agar kepercayaan berkembang, resistansi berkurang, dan kerjasama dapat dilakukan dengan jujur.
Menurut saya, kita bukan sekadar mengembangkan sebuah pembangkit tenaga listrik, namun juga meningkatkan kepercayaan antara pemerintah dan masyarakat.
Di penghujung hari, apabila kita mendambakan suatu masa depan yang sungguh-sungguh lestari, oleh karena itu ketelitian sosial perlu menjadi sumber daya utama dalam tiap tahapan kemajuan.
Tanpa hal tersebut, energi panas bumi tidak menjadi jawaban, tetapi justru kelanjutan dari ketidakadilan yang disamarkan dengan lapisan hijau. (*)
Simak terus berita BeritaQ.comdi Google News
Post a Comment for "Opini: Kebijakan Pembangunan Energi Geotermal yang Tercoret Anomali"