zmedia

Parenting Digital: Cara Mencegah Pengaruh Radikalisme Gender pada Anak, Berdasarkan Pelajaran dari Serial Adolescence

BeritaQ.com – Radikalisasi gender, khususnya yang berkaitan dengan incel ( involuntary celibate ), menjadi fokus utama dalam seri Netflix yang bernamakan “Adolescence”.

Seri tersebut mengisahkan seorang pemuda berumur 13 tahun bernama Jamie yang telah menewaskan rekannya dari sekolah, yaitu Katie, akibat paparan ideologi kelompok ekstrem seperti maskulinitas racun dan kebencian terhadap wanita dalam platform-media online.

Radikalisme gender merupakan paham ekstrem yang terkait dengan masalah gender, termasuk maskulinitas berbahaya dan rasis terhadap wanita.

Biasanya, remaja yang mengalami paparan radikalisme gender mempunyai pandangan yang sangat ekstrem tentang peran Gender, serta cenderung melakukan perilaku yang dapat membahayakan pihak lain.

Psikolog klinik untuk anak dan remaja, Lydia Agnes Gultom, M.Psi., menyebutkan bahwa orang tua harus memahami aspek digital dengan menerapkan digital parenting untuk melindungi anak-anaknya dari pengaruh konten yang mendukung radikalisasi gender.

“Orangtua perlu punya pengetahuan atau update tentang dunia internet saat ini, perannya (dalam hidup anak) seperti apa, dan aplikasi seperti apa yang digunakan oleh anak,” terang Agnes yang berpraktik di Klinik Utama Dr. Indrajana Jakarta Pusat kepada BeritaQ.com , Minggu (13/4/2025).

Sebagai informasi, Agnes juga bekerja sebagai Penyuluh Sosial Ahli Muda di Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak.

Bentengi anak dari konten berbahaya

Dalam serial “Adolescence”, Jamie memang anak rumahan yang anteng dan tidak pernah berbuat masalah. Ia selalu berada di dalam kamarnya bermain komputer.

Tetapi, ternyata kegiatan itu malah mengekspos dirinya pada materi berisiko tinggi seperti ideologi incel.

Dikutip dari Kompas.id , Selasa (15/4/2025), incels merupakan kelompok pria yang percaya diri memiliki hak untuk mendapatkan hubungan intim dan cinta, namun gagal memperolehnya.

Sebagaimana tertera pada artikel dari jurnal Current Psychiatry Reports dengan judul “ Tidak Berniat Celibat: Ulasan tentang Ideologi Incel dan Pengalaman dengan Kencan, Penolakan, serta Dampak Kesehatan Mental dan Emosional yang Terkait , mereka mengkritik wanita serta masyarakat karena kondisi itu.

Dalam makalah dari jurnal Studi tentang Konflik dan Terorisme berjudul “ Penilaian Ancaman Kekerasan dari Gerakan Incel ", pandangan dari kelompok incels menganggap wanita sebagai sumber masalah utama.

Wanita menjadi kambing hitam untuk berbagai perasaan buruk yang dirasakan oleh kelompok incels, yaitu merasa terasing, ditolak, dan gagal dalam hal maskulinitas sebagai pria.

Karena orang tua Jamie serta individu dewasa di lingkungannya kurang mengerti tentang aktivitas digital Jamie, mereka salah paham dengan emoji yang dipakai Katie pada unggahan media sosial milik Jamie.

Mereka tidak berhasil memahami makna emoji yang dipakai, sebab mereka kurang paham dengan penggunaannya. catch up ,” kata Agnes.

Komitmen dalam berkomunikasi secara terbuka antara orang tua dengan anak

Dalam menerapkan digital parenting , pembicaraan terbuka di antara orang tua dan anak sungguh amat diperlukan.

"Agar anak merasa dapat berbagi pengalaman mereka, baik yang menyenangkan maupun yang kurang menyenangkan dari dunia digital, orang tua harus menciptakan lingkungan rumah yang aman dan nyaman bagi si kecil," ungkap Agnes.

Singkatnya, orang tua perlu dapat menjadi sumber informasi bagi anak-anak untuk bertanya tentang apa pun yang mereka temui secara online tanpa langsung mendiskreditkan atau menghakimi mereka terlebih dahulu.

Ini berarti kedua orang tua Jamie harus dapat diandalkan sebagai sumber yang aman bagi anaknya untuk menceritakan sesuatu atau menanyakan hal-hal.

Maka dari itu, mereka dapat melihat berbagai isi yang telah dibaca Jamie, serta menyadari bahwa emoji yang dipakai Katie merujuk pada bullying online.

Sepakati batasan lewat diskusi

Selanjutnya adalah mengatur batasan dalam bermain media sosial. Agnes menjelaskan, remaja berbeda dengan anak kecil yang bisa nurut ketika waktu bermain media sosial mereka dibatasi selama 10 menit setiap hari.

"Jika berbicara tentang remaja, orang tua perlu menciptakan dialog yang seimbang. Mereka harus dihargai sebagai individu dewasa dan dibicarakan secara setARA. Oleh karena itu, batasan tersebut harus didiskusikan mengingat hubungannya dengan pertumbuhan otak serta aspek kognitif," jelasnya.

Saat sedang berbincang, orang tua dapat mengasah kebolehan sang buah hati dalam menganalisis secara kritis. Jangan biarkan para orang tua menahan segera pemakaian media sosial oleh anak-anak mereka, jenis materi digital yang dikonsumsi, serta perangkat lunak apa saja yang dipergunakan.

Orang tua harus mendiskusikan alasannya untuk membatasi penggunaan media sosial, menjabarkan mana jenis konten yang bisa dan tidak boleh ditonton serta aplikasi apa saja yang diperbolehkan atau justru sebaiknya dihindari oleh anak-anak mereka.

"Oleh karena itu, anak harus mengetahui mana yang benar atau salah. Mereka tidak boleh menerima segala sesuatu begitu saja. Jika tidak diberi pelajaran untuk berpikir secara kritis, mereka akan langsung menerima semua informasi tanpa bertanya ketika disodorkan dengan konten berbahaya," terang Agnes.

Berikan pendidikan tentang kesetaraan gender kepada anak Anda.

Kesetaraan gender merupakan pemerataan hak, tugas, kedudukan, serta tanggung jawab di antara kaum adam dan wanita. Mereka memiliki hak untuk mendapatkan dan menikmati kehidupan yang bermartabat.

Agar menghindari pengaruh radikalisasi gender pada anak melalui media sosial, beri mereka pemahaman tentang keseimbangan jenis kelamin.

"Bekali pengetahuan lengkap mengenai pendidikan seksualitas, termasuk bagaimana ia memandang identitas diri sebagai laki-laki atau perempuan," ungkap Agnes.

Kesetaraan gender bisa membantu anak-anak menjadi lebih terampil dalam berinteraksi dengan orang lain, sambil mengembangkan pemahaman tentang maskulinitas dan feminis yang lebih sehat secara positif.

"Jika diberi pemahaman yang tepat, menurutku pandangan tentang gender mereka akan menjadi lebih positif. Dengan begitu, tingkah laku anak dalam berinteraksi dengan lawan jenis serta identitas dirinya sebagai laki-laki atau perempuan pun bisa ditunjukkan dengan lebih sesuai," tambah Agnes.

Ini berarti bahwa saat anak-anak terkena materi mengenai ekstremisgender, mereka hanya akan memandangnya sebagai topik untuk didiskusikan bersama orang tua dan tidak mudah dipengaruhi. Hal ini karena apa yang mereka lihat itu berbeda dari pemahaman mereka tentang konsep gender.

“Inilah yang difasilitasi dengan berpikir kritis. Jadi, anak bisa mempertanyakan apa yang dilihat, enggak menerimanya secara mentah-mentah,” pungkas Agnes.

Post a Comment for "Parenting Digital: Cara Mencegah Pengaruh Radikalisme Gender pada Anak, Berdasarkan Pelajaran dari Serial Adolescence"