
CHINA, BeritaQ.com Wakil Ketua MPR RI dari fraksi PAN Eddy Soeparno mengungkapkan keprihatinannya atas fakta bahwa Indonesia masih sering melakukan impor terkait pemanfaatan energi, bahkan untuk sumber daya energi terbarukan.
Eddy menganggap hal ini merupakan sebuah kejadian sangat Ironis.
Ini disampaikan ketika bertemu dan membicarakan dengan para mahasiswa di Kedutaan Besar Republik Indonesia di Beijing, China, pada Selasa (16/4/2025) malam.
"Kekayaan kami dalam hal energi terbarukan sangat besar, namun energi yang digunakan sehari-hari harus impor. Ini merupakan sebuah paradoks besar di era modern," ungkap Eddy.
Dia menyatakan bahwa Indonesia merupakan negeri yang melimpah akan sumber daya energi.
Menurut dia, Indonesia menyandang posisi sebagai pemilik sumber daya panas bumi nomor dua terbesar di seluruh dunia.
Tidak hanya itu saja, Indonesia pun mempunyai potensi energi berupa angin, air, surya, sampai fosil yang sangat menakjubkan.
"Posisi kedua terbesar di dunia. Sumber daya energi kami adalah batubara. Saat ini, produksinya mencapai 900 juta ton setahun. Bahkan jika kita terus memproduksi jumlah tersebut selama 200 tahun ke depan, stok batubara kita masih belum akan menipis. Ini merupakan aset kami. Oleh karena itu, kami dikatakan kaya dalam hal fosil," katanya.
Maka dari itu, dia mengharapkan agar sumber daya yang tersedia dioptimalkan dengan baik.
"Berikut ini adalah hal-hal yang harus kita tingkatkan saat ini. Lagipula, pemerintah telah mengusulkan bahwa kita akan mengerjakan peningkatan pertumbuhan ekonomi kita," katanya.
Pada kesempatan kali ini, Eddy menyebutkan bahwa Indonesia tetap menjalankan proses impor guna memenuhi permintaan domestik akan gas elpiji di dalam negeri.
"Sebagai contoh, Bapak Pak, saat kita memasak menggunakan gas elpiji di rumah. Gas ini sering disebut juga sebagai gas melon. Ini menjadi beban berat bagi pemerintah karena, pertama, kebutuhan kami akan gas elpiji mencapai tujuh juta kiloliter setahun. Dari jumlah tersebut, sebanyak 75% harus diimpor. Itu artinya ada defisit keluar negeri untuk pembelian gas elpiji," ungkap Eddy.
Pada waktu yang bersamaan, Indonesia tetap memberikan subsidi untuk gas elpiji, mencakup pula gas elpiji yang dikemas dalam tabung berbentuk melon.
"Subsidi Elpiji berasal dari pemerintah. Subsidi tersebut sebesar Rp 11.000 untuk setiap tabung gas LPG selama satu tahun. Dalam periode yang sama, konsumsi adalah tiga liter. Sehingga total subsidi mencapai Rp 33.000. Kalikan saja dengan jumlah total penggunaan yaitu tujuh juta kiloliter. Ini merupakan besaran subsidi per tahun," tambahnya.
Ironisnya malah begitu, menurut Eddy, banyak warga yang berada di tingkat kemampuan cukup justru memanfaatkan elpiji bersubsidi tersebut.
Sebenarnya, gas elpiji bersubsisdi dengan tabung serupa melon tersebut harusnya digunakan oleh keluarga yang sungguh-sungguh memerlukannya.
Wakil Ketua Umum PAN tersebut juga menginginkan bahwa penanganan masalah penerima bantuan elpiji dapat dirancang lebih baik untuk memastikan akuratnya sasarannya.
"Maka terjadi kesalahan target. Lebih baik kita tentukan kriteria tertentu, sehingga orang-orang yang benar-benar layak untuk membeli hanyalah mereka yang memiliki kartu, keluarga tidak mampu, ataupun menggunakan KTP serta kami pastikan informasi tersebut akurat agar tepat sasaran," jelasnya.
Demikian pula dengan Pertalite yang berada di bawah subsidi di Indonesia.
Eddy menganggap bahwa BBM Pertalite ternyata masih didatangkan dari luar negeri, meskipun permintaan untuk bahan bakar ini cukup tinggi di Indonesia.
"Subsidi untuk itu datang dari pemerintah. Berapakah harga Pertalite hari ini? Harganya adalah Rp10.000. Namun, biaya dasar produksinya mencapai Rp15.600. Ini menjadi kerugian yang cukup signifikan. Selain itu, konsumsi Pertalite setiap tahunnya sekitar 33 juta kiloliter dan bagian daripadanya harus diimpor," ungkap Eddy.
Post a Comment for "Pemimpin MPR RI: Menyedihkan, Energi Terbarukan Melimpah tapi Kami Mengimpor"