
Langit pada pagi hari itu terlihat sangat biru dan jernih. Angin sepoi-sepoi berhembus lembut di tengah deretan pohon-pohon tinggi yang sudah berkembang subur di area halamannya. Seseorang laki-laki dengan usia lanjutan mengambil langkah-langkah lambat sambil meniti jalanan menuju pintu masuk utama Pondok Pesantren Al-Aziziyah.
Ekspresi wajahnya tenang, dengan senyuman halus terpatri di bibirnya. Dia memakai kopiah berwarna putih serta sarung bertema klasik. Tidak ada yang spesial tentang penampilannya, tetapi setiap gerakkanya menyimpan kenangan pribadi yang tidak dapat dialami oleh orang lain.
Dia merupakan seorang alumni dari batch pertama yang berhasil menghafalkan al-Quran di Al-Aziziyah beberapa dekade lalu. Pada hari tersebut, dia kembali pulang. Tempat yang disebut sebagai rumah bagi dirinya—merujuk pada pengembalian ke tempat dan waktu ketika masih menjadi bagian penting dalam hidupnya.
Di bagian depan, sejumlah peserta didik keluar-masuk. Mayoritas terburu-buru ke arah ruangan belajar, memegangi al-Quran serta bukunya, tetapi ada pula yang dengan tenang asyik ngobrol di pinggir pintu masuk. Tidak satupun daripada mereka mengenal laki-laki tersebut.
Dia hanya berdiri di sana, menatap gedung tempat dia pernah mengenal setiap sudut kamarnya dengan baik. Asrama bentuk "U" itu sekarang sudah bertransformasi menjadi sebuah bangunan bergantian empat lantai, dilengkapi pintu kaca serta cat baru yang mencolok. Tempat tinggal tersebut telah banyak berevolusi, semakin luas, teratur, dan enerjik dari sebelumnya.
Meski demikian, dalam keriuhan transformasi tersebut, ia merasakan kehilangan tertentu. Paling tidak begitulah rasanya untuk pria itu. Dia melangkah perlahan ke arah Masjid Al-Kautsar, tempat di sebelah belakang masjid ini dulunya berada Masjid "Hidayatullah". Harapan dia adalah bertemu dengan orang-orang yang sudah familiar. Namun, waktu telah memisahkan mereka secara jauh.
Di hadapan masjid, seorang pendeta muda berada di sana, menggunakan pakaian batik unik dari pesantren serta sepasang sepatu pantofel. Dia tampak asyik mengecek daftar kehadiran untuk perjumpaan para lulusan. Pria lanjut usia tersebut mendekati dan melontarkan namanya.
Tiba-tiba, si petugas mengerutkan kening. Dia menyuruh laki-laki tersebut untuk bersabar sebentar. Setelah beberapa menit, orang lain pun tiba di tempat itu. Yaitu Ustaz bertubuh biasa saja dalam balutan baju batik sederhana tetapi memiliki aura kebijaksanaan tersendiri bernama Ustadz Ma'ruf. Tatapan matanya melototi sang alumnus dengan intensitas tinggi.
"Sebentar... pertama satu kamar dengan Ustaz Khairul, ya?" tanyanya pelan.
Alumni itu mengulum senyum lebar. "Betul sekali, Pak Sahlul. Saya selesaikan pendidikannya di pesantren pada tahun 1997."
Mereka berjabat tangan dengan penuh kehangatan. Mata guru agama itu tampak berkaca-kaca. Dia masih melayani di pesantren sampai saat ini, menjadi bukti langsung tentang perkembangan dan transformasi Al-Aziziyah sepanjang zaman.
Pertemuan tersebut tertanam kuat di dalam hati sang alumni. Dia dipersilakan, tetapi dia merenungkan bahwa tidak ada lagi muka yang dikenali. Tidak ada suara-suaranya teman lamanya yang kini sudah jarang didengar di asramanya. Ada hanyalah sisa-sisa memori yang perlahan-lahan semakin tua seiring dengan usianya sendiri.
Pada saat memperingati ulang tahun ke-40 Al-Aziziyah, dia terdiam dalam refleksi. Kemegahan bukanlah alasan utamanya untuk kembali. Melainkan kerinduan dan tugas yang harus dipenuhi. Dia mengharapkan lagi mendengar azan subuh, ingin sekali merasakan kembali antusiasme belajar tanpa harapan imbalan. Ia juga mencintai atmosfer tempat itu yang telah membentuk dirinya hingga hari ini.
Tanggung jawab tersebut timbul dari pemahaman bahwa pesantren ini berkembang menjadi lembaga yang besar tidak hanya berkat usaha keras para pengasuh dan santri, tetapi juga melalui doa serta sumbangan para alumninya sejak masa-masa awal hingga generasi terkini.
Dia merenungkan dengan matang. Bagaimana seorang alumnus—yang sudah lama meninggalkan tempat ini dan hampir tidak diingat lagi—bisa ikut serta dalam memperingati ulang tahun ke-40 pondok pesantren kesayangan mereka?
Pertanyaan itu menyentaknya. Sebab ternyata, banyak hal yang bisa dilakukan.
Pertama, dengan menghidupkan kembali hubungan persaudaraan. Karena untuk pesantren, hadirnya mantan penghuni menjadi bukti bahwa prinsip-prinsip pesantren tetap terjaga sepanjang waktu. Muka-muka familiar seperti oasis bagi santri yang sedang menemukan identitas dirinya.
Kedua, dengan menjadi bagian dari sejarah yang sedang ditulis ulang. Buku besar tentang Al-Aziziyah tengah disusun untuk menjadi panduan kepesantrenan. Alumni senior bisa menyumbangkan kisah, pengalaman, dan refleksi hidup yang lahir dari rahim pendidikan pesantren.
Ketiga, dengan membantu mewujudkan visi mulia pesantren. Baik itu melalui sumbangan ide, jalinan relasi, atau bahkan bantuan finansial yang dapat mempercepat tercapainya impian pesantren tersebut: menjadikan lembaga pendidikan Islam ini sebagai pusat pembelajaran yang modern, berlandaskan pada kebijaksanaan agama, serta dikenali secara internasional.
Pria tersebut kemudian mengambil tempat duduk di teras mesjid. Dia memandang ke segala arah. Dia sadar bahwa waktu tidak dapat dikembalikan lagi. Namun, dia yakin, masa depan masih bisa dirancang bersama-sama.
Meskipun keberadaannya mungkin tidak akan teringat lagi, dia berharap dapat meyakinkan dirinya sendiri bahwa tindakan-tindakannya masih memiliki arti. Dia bermaksud menyebarkan kebaikan kepada santri saat ini layaknya bagaimana dahulunya dia sebagai seorang santri juga mendapat pengajaran dari gurunya.
Pada hari tersebut, dia memposting pesan di media sosial. Pesannya ditargetkan pada teman-teman lama yang sekarang telah berpencar ke tempat tak diketahui. Dia mengundang mereka untuk kembali. Tujuannya bukan hanya sekadar bernostalgia, tetapi juga untuk memperkuat lagi hubungan emosional yang dahulu sudah ada.
Dia menuliskan, "Ayo kita kembali. Ayo kita hadir. Bukan sekadar sebagai tamu, tetapi sebagai bagian dari visi luhur yang selalu berlanjut."
Menurut pendapatnya, memperingati hari ke-40 tidak sekadar suatu upacara. Namun itu adalah momen penting yang dapat mendorong kita semua untuk mengarahkan pondok pesantren menuju tahap selanjutnya. Sebagaimana kata bijak menyebutkan, kehidupan sungguh baru bermula pada usia 40 tahun.
Oleh karena itu, ulang tahun ke-40 Al-Aziziyah merupakan momentum istimewa. Untuk para alumnus senior, ini saatnya bukan hanya merenungi masa lalu, tetapi juga memberikan sumbangsih yang dapat ditinggalkan sebagai warisan.
Mungkin dalam bentuk bantuan pendidikan berupa beasiswa untuk santri yang tidak mampu secara ekonomi. Atau program pelatihan kemampuan hidup bagi para santri tingkat akhir. Alternatif lainnya adalah dengan mengadakan forum dialog antara alumni dan santri guna memperluas perspektif di luar lingkungan pesantren.
Pria tersebut yakin bahwa pondok pesantren tidak akan berkembang hanya berkat struktur fisiknya. Namun, hal itu dapat dicapai melalui cerita-cerita yang senantiasa diceritakan kembali oleh para alumni-nya. Melalui perjalanan kecil yang diambil bersama-sama, dalam kerjasama serta dipenuhi kasih sayang.
Dia kembali ke asrama tanpa bersuara. Tetapi ketenangan tersebut malah bertemu dengan suaranya sendiri di hati, menyadarkannya bahwa ia masih memiliki peranan, walaupun tidak lagi terlihat.
Pada akhir kedatangannya, dia berdiri di hadapan pintu gerbang. Melirik sekilas ke dalam lagi. "Insya Allah aku akan kembali," gumamnya perlahan.
Perjalanan pulang yang sunyi itu tidak tampak sendu lagi. Dia membawa pulang sebuah komitmen. Di usia 40 tahun di Al-Aziziyah, dia bersama dengan para alumninya dapat berkontribusi pada suatu petualangan yang lebih luas, penuh makna, dan memiliki dasar yang kuat.
Karena di penghujung hari, pulang merupakannya tempat dimana hati kita kembali mendarat. Bagi para alumni, hati mereka tidak pernah sungguhan meninggalkan Al-Aziziyah.
Post a Comment for "Pulang Dalam Ketenangan ke Al-Aziziyah"