
SURABAYA, BeritaQ.com – Tindakan perusahaan menahan ijazah pekerjanya di Indonesia dipandang sebagai praktik exploitative yang mengurangi kekuatan negosiasi para pekerja.
Phenomenon ini bukan hanya berlangsung di Indonesia, melainkan juga di negeri-negeri dunia ketiga lainnya.
Khalid Syaifullah, seorang sosiolog masyarakat agraris dan kebijakan publik dari Universitas Negeri Surabaya (Unesa), menyampaikan pernyataan itu ketika diwawancara oleh BeritaQ.com pada hari Selasa tanggal 15 April 2025 di gedung Fisipol Unesa nomor 17.
Pemblokiran ijazah tersebut sebagian alasan di baliknya adalah untuk meredam kekuatan siswa. bargaining "Politik para pekerja," ujar Khalid.
Menurut dia, dengan menyimpan ijazah, perusahaan bisa menghentikan karyawan dari melaksanakan protes atau penolakan atas instruksi bos yang kadang-kadang melebihi batas kesepakatan dalam kontrak kerja mereka.
"Bila hal tersebut terjadi, dampaknya akan sangat serius. Mereka tidak akan menerima ijazah dan ini menjadikan mereka patuh," katanya.
Pengaruh yang signifikan terhadap pekerja
Tindakan menyimpan ijazah tersebut memberatkan beban kepada para karyawan.
Khalid menyatakan bahwa sertifikat adalah fondasi penting bagi karyawan dalam mengejar pekerjaan dengan kondisi yang lebih baik.
Dengan kata-kata Marx, sertifikat tersebut berubah menjadi seperti dokumen kepemilikan dari barang dagangan yaitu tenaga kerja mereka, yang dapat dijual dan dibeli oleh mereka, katanya.
Saat sertifikat digenggam oleh pihak berwenang, karyawan enggan untuk melamar posisi di lokasi yang berbeda.
Walaupun belum mempunyai informasi yang pasti, Khalid yakin bahwa banyak karyawan mengalami penahanan ijasah dan kesulitan untuk menyelesaikannya, sehingga mereka dipaksa berpindah ke sektor kerja informal lantaran tidak memiliki dokumen resmi untuk mendaftar di perusahaan formal.
Celah hukum yang dimanfaatkan
Khalid menegaskan bahwa pemakaian metode penahanan ijazah dengan alasan adanya kesepakatan bersama antara dua pihak merupakan pandangan yang keliru, karena aturan terkait hal tersebut sebenarnya belum ada kejelasannya dalam UU Ketenagakerjaan.
Terdapat keterpencilan kekuatan dalam relasi kontrak di antara pemilik perusahaan dan para pekerjanya.
"Buruh, khususnya dalam kondisi saat ini, merupakan kelompok yang amat memerlukan pekerjaan, oleh karena itu mereka terpaksa mengambil keputusan untuk menyimpan sementara ijazah mereka," jelasnya.
Selanjutnya, kurangnya undang-undang yang tegas membuka peluang bagi perusahaan untuk mengeksploitasi hal tersebut.
Khalid mengatakan bahwa aturan yang tidak jelas kerap menjadi favorit bagi perusahaan serta pemerintahan, khususnya pemerintah lokal.
"Oleh karena itu, mereka dapat bekerja sama dengan perusahaan tersebut demi mendapatkan keuntungan, entah itu berupa uang suap atau metode lainnya," jelasnya.
Khalid mengacu pada penelitian dengan judul "Negara dan Ilegalitas" yang menyatakan bahwa tindakan tidak sah kerap terjadi dalam area yurisdiksi yang kabur. Fenomena ini biasanya diciptakan oleh pemangku kepentingan seperti otoritas negara dan pelaku bisnis demi mendapatkan untung finansial.
Peranan pemerintahan lokal yang tidak merata
Dalam menangani masalah penyitaan ijazah ini, Pemda atau Pemkot harus bertindak sebagai fasilitator dalam proses negosiasi yang melibatkan dua atau tiga pihak.
Akan tetapi, Khalid menganggap tugas tersebut sering kali menjadi masalah.
"Pemerintah Daerah atau Kota terkadang sebagai penengah juga cenderung condong mendukung pihak perusahaan," ujarnya.
Demonstrasi buruh yang terjadi tiap hari Buruh Internasional atau May Day, di mana mereka mengajukan peningkatan Upah Minimum Regional (UMR), mencerminkan bahwa negosiasi antara pekerja dan pengusaha dengan bantuan mediatore dari Pemerintah Daerah atau Kota lewat Organisasi Perangkat Daerah (OPD) umumnya condong mendukung kepentingan perusahaan.
Populisme politik vs solusi berkelanjutan
Mengomentari tindakan Wakil Wali Kota Surabaya, Armuji, yang secara pribadi mengatasi masalah penyitaan ijazah tersebut, Khalid menyatakan hal itu sebagai metode populer yang telah diterapangkan oleh para sebelumnya seperti Tri Rismaharini dan bahkan mantan Presiden Joko Widodo.
"Kita masih bergantung pada politik figure dalam praktik politik kita, hal ini umumnya kurang bertahan lama. Ketika pemimpin tersebut berubah atau mendapatkan penawaran politik yang menarik, biasanya kegiatan yang sedang berlangsung akan dihentikan, dibubarkan, dan digantikan dengan metode tradisional," jelasnya.
Khalid menganggap bahwa walaupun metode itu kelihatan sesuai untuk jangka waktu singkat, namun ia tidak akan bertahan lama.
Perlu adanya sistem penanganan yang menyeluruh untuk memastikan pekerja memiliki kekuatan negosiasi di depan perusahaan.
Post a Comment for "Penahanan Ijazah Karyawan: Praktik Tak Beretika Butuh Regulasi Tegas"